Rasio CAMEL
Tugas Bank Indonesia antara lain mempertahankan dan memelihara sistem yang sehat dan dapat dipercaya dengan tujuan menjaga kondisi perekonomian. Untuk itu Bank Indonesia selaku bank sentral dan pengawas kegiatan perbankan di Indonesia memberikan ketentuan ukuran pernilaian tingkat kesehatan bank. Dalam mengukur tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia menggunakan rasio keuangan model CAMEL (Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah).
Rasio model CAMEL terdiri dari dari komponen Capital, Asset quality, Management, Earning dan Liquidity. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah komponen capital digunakan untuk menilai tingkat kecukupan modal bank dalam mengamankan eksposur risiko posisi dan mengantisipasi eksposur risiko yang akan muncul. Komponen asset quality digunakan untuk menilai kondisi aset bank, termasuk antisipasi atas risiko gagal bayar dari pembiayaan (credit risk) yang akan muncul. Komponen management digunakan untuk menilai kemampuan manajerial pengurus bank dalam menjalankan usaha sesuai dengan prinsip manajemen umum, kecukupan manajemen risiko dan kepatuhan bank terhadap ketentuan baik yang terkait dengan prinsip kehati-hatian maupun kepatuhan terhadap prinsip syariah dan komitmen bank kepada Bank Indonesia. Komponen earnings digunakan untuk menilai kemampuan bank dalam menghasilkan laba. Sedangkan komponen liquidity digunakan untuk menilai kemampuan bank dalam memelihara tingkat likuiditas yang memadai termasuk antisipasi atas risiko likuiditas yang akan muncul (Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS).
Rasio model CAMEL juga dipakai dalam penelitian Payamta dan Machfoedz (1999), Nasser dan Aryati (2000), Nasser (2003) dan Zahara dan Veronica (2009). Rasio ini terdiri dari CAR, RORA, ROA, NPM dan LDR. Rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan perbandingan ekuitas dengan total asset (Bastian dan Suhardjono, 2006). Rasio RORA (Return On Risked Asset) diperoleh dari perbandingan laba sebelum pajak dengan aktiva produktif, rasio ini menunjukkan profitabilitas bank (Zahara dan Veronica, 2009). ROA (Return On Asset) menunjukkan perbandingan laba sebelum pajak dengan aset. Sedangkan NPM (Net Profit Margin) diperoleh dari perbandingan laba operasi dengan pendapatan (Bastian dan Suhardjono, 2006). Rasio RORA, ROA dan NPM menunjukkan kemampuan bank menghasilkan laba dari aktivitas operasional. Sedangkan LDR (Loan to Deposit Ratio) merupakan perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan dengan dengan jumlah dana pihak ketiga. Dana pihak ketiga merupakan dana yang dihimpun dari nasabah melalui produk-produk bank antara lain giro, call money, deposito, deposito berjangka, sertifikat deposito, surat berharga yang diterbitkan, tabungan dan pinjaman yang diterima (Nasser, 2003). Rasio LDR ini digunakan untuk melihat likuiditas bank.
Rasio model CAMEL juga banyak digunakan oleh peneliti sebelumnya untuk meneliti kinerja di industri perbankan, karena terbukti rasio model CAMEL ini sangat cocok dan akurat untuk digunakan sebagai penilai kinerja di perbankan dan untuk memprediksi tingkat kegagalan. Di Amerika, Sinkley (1992) dalam Mongid (2000) telah sukses mengidentifikasi dan mendeteksi hampir semua masalah perbankan selama 15 tahun. Manao (2004) menggunakan rasio Model CAMEL untuk melihat apakah rasio-rasio keuangan yang diukur dengan model CAMEL berbeda secara signifikan antara bank yang sehat dengan bank yang gagal. Selain itu peneliti yang menggunakan rasio model CAMEL ini antara lain; Martin (1997), Payamta dan Machfoedz (1999), Nasser (2003), Murtanto dan Arfiana (2002), Mongid (2004) dan Lesmana (2008).
Rasio CAMEL dan proksi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada penelitian Zahara dan Veronica (2009). Rasio model ini juga digunakan oleh Nasser (2003) dan Payamta dan Machfoedz (1999) untuk meneliti kinerja perbankan. Sedangkan Zahara dan Veronica (2009) menggunakan model ini untuk mendeteksi adanya manajemen laba di bank syariah, namun hipotesisnya tidak terbukti. Penggunaan rasio model CAMEL dalam penelitian indikasi manajemen laba ini sejalan dengan pemikiran bahwa rasio ini telah terbukti dapat menilai kinerja di industri perbankan dan diyakini kinerja sangat mempengaruhi praktik manajemen laba. Apabila kinerja pada suatu perusahaan buruk, maka akan ada insentif bagi para manajer untuk melakukan tindak manajemen laba, apalagi terkait ketatnya regulasi perbankan di Indonesia (Setiawati dan Naim, 2001, dan Rahmawati dan Baridwan, 2006 dalam Nasution dan Setiawan, 2007). Dan secara umum rasio CAMEL adalah alat efektif dan berguna dalam mengidentifikasi masalah perbankan (Mongid, 2000), sehingga diharapkan juga dapat mendeteksi manajemen laba di bank umum syariah.
Peraturan dan Perundang-undangan Terkait Bank Syariah
Bank umum syariah pertama didirikan di Indonesia pada tahun 1992 berdasarkan UU No. 7 Th. 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah No.
72 tentang Bank beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Sesuai perkembangan perbankan, maka UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan disempurnakan menjadi UU No. 10 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan terakhir disempurnakan lagi dengan UU No. 21 Th 2008 tentang Perbankan Syariah.
Bank Indonesia mengatur operasi bank syariah dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia No. 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini mengatur persyaratan tingkat kesehatan bank syariah yang layak untuk beroperasi. Peraturan ini didukung oleh Surat Edaran No. 9/24/DPbS tertanggal 30 Oktober 2007, yang ditujukan kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang juga diterbitkan oleh Bank Indonesia. Dalam Surat Edaran ini dijelaskan mengenai Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
Standar Akuntansi Keuangan juga mengatur akuntansi perbankan syariah dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah. Dalam PSAK No. 59 ini diatur mengenai Pengakuan dan Pengukuran sampai Penyajian. PSAK No. 101 juga mengatur mengenai Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Dalam PSAK No. 101 ini disebutkan komponen laporan keuangan bank syariah yang lengkap, meliputi Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat, Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
Pengertian Bank Syariah
Berdasarkan Undang-undang
nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah bab 1 pasal 1, Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut
tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Syariah.
Menurut Undang-undang nomor 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah bab 1 pasal 1 tersebut, yang dimaksud Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah. Sedangkan Bank
Umum
Syariah
adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatan memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran, sebaliknya Bank Pembiayaan
Syariah tidak memberikan
jasa lalu lintas pembayaran.
Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memperbolehkan Bank Umum Konvensional mempunyai Unit Usaha Syariah atau sering disebut UUS. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit usaha syariah.
Unit Usaha Syariah dapat berkembang menjadi Bank Umum Syariah. Jadi
dapat dikatakan
Unit
Usaha Syariah merupakan cikal bakal Bank Umum Syariah
(Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha
Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
dan
Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum
Pasal 1
Ayat 9). Namun tidak semua bank syariah berawal dari Unit Usaha
Syariah, contohnya Bank Muamalat. Bank ini berdiri langsung berbadan hukum
Bank Umum Syariah. Adanya Unit Usaha Syariah merupakan
bukti komitmen
pemerintah dalam usahanya mengembangkan
perbankan syariah di Indonesia.
Komitmen ini diwujudkan
dalam bentuk aturan mengenai dual banking system di
perbankan konvensional. Peraturan ini memperbolehkan Bank Umum Konvensional
untuk menjalankan
usaha syariah melalui Unit Usaha Syariah
tersebut.
Akuntansi Perbankan Syariah
Akuntansi dalam hukum Islam berhubungan dengan pengakuan, pengukuran dan pencatatan transaksi dan pengungkapan hak dan kewajiban secara adil (Harahap, dkk., 2006). Seperti tercantum dalam Surat Al Baqoroh ayat 282, “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar”. Allah juga telah berfirman, “Celakalah bagi orang-orang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menimbang atau menakar untuk orang lain, mereka kurangi” (QS 83: ayat 1-3). Dalam hadist juga disebutkan, “Hai, hambaKu, Aku telah haramkan bagiku kezaliman dan telah mengharamkannya diantara kamu, jadi janganlah menindas satu sama lain”. Pada tahun 1999 Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution mengeluarkan buku berjudul “Accounting, Auditing and Governance Standard for Islamic Financial Institutions”, buku ini merupakan revisi dari buku sebelumnya, sehingga cakupannya lebih luas, tidak hanya akunting dan auditing tetapi juga Governance serta terdapat perubahan cakupan organisasi tersebut
Organisasi dan ruang lingkup tanggung jawab Accounting
and Auditing Organization for Islamic Financial Institution dalam buku “Accounting, Auditing
and Governance Standard for Islamic Financial Institutions” adalah :
1.
Majelis
Umum,
merupakan pihak yang
mempunyai
wewenang
tertinggi,
terdiri dari anggota pendiri dan anggota
bukan pendiri, dan bertemu minimal
setahun sekali.
2.
Dewan Pengurus, diangkat oleh Majelis Umum yang mewakili badan pengatur
dan
pengawas, lembaga-lembaga keuangan Islam, dewan pengawas syariah,
profesor universitas, organisasi dan asosiasi yang bertanggung jawab untuk membuat standar akuntansi
dan
auditing, akuntan resmi (certified
accountant) dan para pemakai lembaga keuangan-lembaga keuangan Islam.
3.
Badan Standar Akuntansi dan Auditing, diangkat oleh Dewan Pengurus yang
mencerminkan berbagai kategori yaitu badan pengatur
dan pengawas, lembaga-lembaga
keuangan Islam, dewan pengawas syariah, professor
universitas, organisasi dan asosiasi yang bertanggung
jawab untuk mengatur profesi akuntansi dan atau yang bertanggung jawab untuk membuat standar
akuntansi dan auditing,
akuntan resmi, dan
para pemakai laporan dari
lembaga-lembaga keuangan Islam.
4.
Dewan Syariah, diangkat oleh Dewan Pengurus dan mempunyai wewenang
untuk memeriksa
laporan akuntansi dan auditing yang diusulkan, standar praktek dan pedoman praktek dari sudut pandang
syariah serta memeriksa setiap pertanyaan yang diterima oleh AAOIFI yang berhubungan
dengan masalah-masalah syariah.
5. Komite Eksekutif, anggota yang mempunyai
kekuasaan
untuk memeriksa
rencana jangka pendek dan jangka panjang yang dibuat oleh Badan Standar,
anggaran tahunan AAOIFI, peraturan-peraturan
yang mengatur pembentukan
komite dan gugus tugas dan penunjukkan konsultan.
6. Sekretariat Umum, mengkoordinasi
kegiatan badan-badan berikut ini dan
bertindak sebagai rapporteur dari Majelis Umum, Dewan Pengurus, Badan
Standar, Komite Eksekutif, Dewan Syariah dan sub komite. Selain itu Sekretariat
Umum
juga mengawasi studi yang berkaitan dengan pembuatan laporan, standar dan pedoman akuntansi dan auditing
serta menguatkan hubungan AAOIFI dan organisasi-organisasi lain dan mewakili AAOIFI pada
konferensi, seminar dan pertemuan-pertemuan ilmiah.
Perbedaan Akuntansi Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Postulat/ Prinsip |
Akuntansi Konvensional |
Akuntansi Syariah |
Entitas |
Pemisahan antara bisnis dan pemilik |
Entitas didasarkan pada pembagian laba
firma, tidak memiliki kewajiban terpisah |
Going Concern |
Bisnis terus
beroperasi
sampai tujuan tercapai |
Kelangsungan usaha tergantung pada kontrak
persetujuan
antara pihak yang
terlibat dalam kegiatan bagi hasil |
Periode |
Akuntansi tidak
dapat menunggu sampai akhir
kehidupan perusahaan untuk mengukur sukses perusahaan |
Tahun hijriyah untuk perhitungan
zakat terkecuali untuk
sektor pertanian
berdasarkan musim panen |
Unit |
Pengukuran nilai moneter |
Kuantitas
atau harga pasar untuk ternak, barang
pertanian
dan emas untuk
memenuhi
kewajiban zakat |
Full Disclosure |
Untuk tujuan pengambilan keputusan |
Untuk menunjukkan kewajiban kepada Allah, sosial dan individual |
Objektivitas |
Kepercayaan terhadap pengukuran yaitu
bebas
dari
segala bias subjektif |
Seperti
sifat
rahman yaitu kesadaran bahwa kita
memenuhi kewajiban keuangan
dan non keuangan
untuk ridho Allah |
Materialitas |
Berkaitan dengan kepentingan informasi terhadap pengambilan
keputusan |
Berkaitan dengan
pengukuran yang adil pemenuhan kewajiban kepada Allah, sosial dan individual |
Konsistensi |
Catat dan laporkan sesuai GAAP |
Mencatat dan melaporkan secara konsisten
berdasarkan
prinsip syariah |
Konservatisme |
Memiliki teknik akuntansi yang memberikan pengaruh paling
kecil terhadap pemilik |
Memilih teknik akuntansi yang paling menguntungkan
masyarakat, misalnya memilih
angka yang
lebih besar untuk pembayaran zakat. |
Sumber: Menuju Perumusan Teori Akuntansi Syariah, Harahap (2001) dalam Fofana (2008).
Perbedaan Laporan Keuangan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Laporan Keuangan Bank Syariah |
Laporan Keuangan Bank Konvensional |
1. Neraca 2. Laporan Laba Rugi 3. Laporan Arus Kas 4. Laporan Perubahan Ekuitas 5. Catatan atas Laporan Keuangan 6. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat 7. Laporan Sumber dan Penggunaan Zakat, Infaq dan Shadaqah 8. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan (Qardhul Hasan) |
1. Neraca 2. Laporan Laba Rugi 3. Laporan Arus Kas 4. Laporan Perubahan Ekuitas 5. Catatan atas Laporan Keuangan |